Berdasarkan
Undang-undang Penataan Ruang (No. 26, 2007), seharusnya suatu kota memiliki
Ruang Terbuka Hijau dengan persentase 30% dari luas wilayahnya. Bandung, dengan
luas 17 ribu hektar, luas RTH yang ideal
adalah sekitar 6000 hektar. Namun, hari ini kota Bandung hanya memiliki 8,76%
atau 1700 hektar ruang terbuka hijau (Dinas Pertamanan, 2007). Permasalahan RTH
Kota Bandung yang sangat sedikit jumlahnya ini juga ditambah dengan
permasalahan buruknya kualitas RTH. Keberadaannya tidak terawat, terkesan
angker, bahkan kerap kali malah dijadikan tempat berkumpul negatif seperti geng
motor, wanita malam, preman, tunawisma, dan sebagainya. Seperti Taman Maluku
yang terkenal sebagai “taman hantu pastur”. RTH yang tersisa di Kota Bandung
tidak mampu menjadi tempat kumpul positif dan ruang publik yang produktif. Hal
ini membuat tempat wisata di kota Bandung terbatas hanya pada mall, arena
bermain, dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya.
Babakan
Siliwangi, Hutan Kota pertama di Dunia yang diresmikan oleh PBB dalam TUNZA
pada September 2011 pun belum bisa dimaksimalkan potensinya. Hutan mungil yang
awalnya mempunyai luas 14 hektar dan hanya menyisakan 3 hektar atau sekitar
0.05% dari kebutuhan ideal RTH kota Bandung ini terletak di tengah-tengah hiruk
pikuk kegiatan masyarakat Bandung. Selain memiliki potensi dari segi hutan dan
lingkungan hijau di tengah perkotaan, tempat ini juga memiliki komunitas
sanggar seni dan para penggiat budaya yang hidup dan berkegiatan seni budaya
seperti melukis dan membuat patung sehari-harinya di halaman depan hutan kota
ini. Namun saying, potensi ini sama sekali tidak disadari masyarakat dan
pemerintah sekitar. Babakan Siliwangi atau Baksil ini malah kerap kali menjadi
tempat bernaung para preman dan wanita malam. Baksil perlu mengalami perbaikan
infrastruktur. Sudut-sudut kawasan tersebut rusak, jebol, dan tentunya harus
dibenahi. Baksil masih terbengkalai dan
tidak mendapat perhatian dari masyarakat sekelilingnya.
Baksil
seharusnya dapat menjadi tempat hiburan dan relaksasi yang sehat dan
menyegarkan sehingga masyarakat tidak menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang
kurang bermanfaat. Hiburan seperti adu domba, layar tancap, pagelaran wayang,
dan sebagainya. Hutan kota juga seharusnya dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat yang ada di Bandung. Butuh kolaborasi masyarakat dan pemerintah kota
untuk mengadakan kerjasama strategis dengan berbagai pihak lainnya untuk
memperbaiki infrastruktur Babakan Siliwangi sehingga menjadi lebih baik dan
terawat. Dimulai dari upaya pemanfaatan Babakan Siliwangi, kelak sejumlah RTH
yang tersisa di kota Bandung akan lainnya pun akan dimanfaatkan dan dikelola
dengan baik. Save Babakan Siliwangi!Berdasarkan
Undang-undang Penataan Ruang (No. 26, 2007), seharusnya suatu kota memiliki
Ruang Terbuka Hijau dengan persentase 30% dari luas wilayahnya. Bandung, dengan
luas 17 ribu hektar, luas RTH yang ideal
adalah sekitar 6000 hektar. Namun, hari ini kota Bandung hanya memiliki 8,76%
atau 1700 hektar ruang terbuka hijau (Dinas Pertamanan, 2007). Permasalahan RTH
Kota Bandung yang sangat sedikit jumlahnya ini juga ditambah dengan
permasalahan buruknya kualitas RTH. Keberadaannya tidak terawat, terkesan
angker, bahkan kerap kali malah dijadikan tempat berkumpul negatif seperti geng
motor, wanita malam, preman, tunawisma, dan sebagainya. Seperti Taman Maluku
yang terkenal sebagai “taman hantu pastur”. RTH yang tersisa di Kota Bandung
tidak mampu menjadi tempat kumpul positif dan ruang publik yang produktif. Hal
ini membuat tempat wisata di kota Bandung terbatas hanya pada mall, arena
bermain, dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya.